Apakah makna puasa di bulan Ramadan ini bagi kita semua, umat Islam
secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum? Pertanyaan ini layak
diajukan terus setiap kita memasuki bulan suci ini, agar kita tidak
terlelap dalam sikap yang “lugu”, yaitu menerima kedatangan bulan suci
tersebut sebagai kerutinan yang sudah biasa. Apakah makna puasa di bulan
Ramadan ini bagi kita semua, umat Islam secara khusus dan bangsa
Indonesia secara umum? Pertanyaan ini layak diajukan terus setiap kita
memasuki bulan suci ini, agar kita tidak terlelap dalam sikap yang
“lugu”, yaitu menerima kedatangan bulan suci tersebut sebagai kerutinan
yang sudah biasa.
Ada sejumlah hal yang menarik, berkenaan dengan cara masyarakat menyambut kedatangan bulan ini,
terutama di lingkungan masyarakat kota. Beberapa hari menjelang dan hingga hari pertama bulan Ramadalan tiba, puluhan, atau bahkan ratusan, kali saya menerima sms (layanan pesan cepat) yang berisi ucapan selamat atas datangnya bulan itu, permintaan maaf, serta cetusan rasa gembira karena tibanya bulan yang akan mengantar umat Islam kepada “fitrah”-nya yang asal.
terutama di lingkungan masyarakat kota. Beberapa hari menjelang dan hingga hari pertama bulan Ramadalan tiba, puluhan, atau bahkan ratusan, kali saya menerima sms (layanan pesan cepat) yang berisi ucapan selamat atas datangnya bulan itu, permintaan maaf, serta cetusan rasa gembira karena tibanya bulan yang akan mengantar umat Islam kepada “fitrah”-nya yang asal.
Di hampir semua sudut kota, spanduk dan poster ucapan selamat atas
datangnya bulan suci ini dipasang, mengesankan bahwa sambutan masyarakat
akan kedatangan bulan Ramadan itu begitu tingginya. Lingkungan yang
tercipta dari koor kegembiraan dan sambutan itu mengesankan bahwa
masyarakat memang benar-benar akan mengalami suatu
“peristiwa spiritual” yang dahsyat, dan setelah itu akan ada semacam “new beginning”, permulaan hari baru di mana masyarakat telah mengalami suatu transformasi atau perubahan penting dalam dirinya.
“peristiwa spiritual” yang dahsyat, dan setelah itu akan ada semacam “new beginning”, permulaan hari baru di mana masyarakat telah mengalami suatu transformasi atau perubahan penting dalam dirinya.
Kesan saya: setelah melalui bulan yang suci ini, wajah masyarakat kita
akan berubah total, akan mengalami perubahan kualitatif menuju tahap
yang lebih baik. Belum lagi kalau kita pertimbangkan bagaimana gairah
masyarakat dalam menjalankan ritual Islam sepanjang bulan ini. Di
Jakarta, masjid dan mushalla di seluruh penjuru kota, akan penuh sesak
pada minggu minggu pertama bulan Ramadan. Jama’ah salat subuh akan
diikuti dengan penuh semangat oleh anggota masyarakat, suatu keadaan
yang tak pernah terjadi pada hari-hari biasa. Ribuan ceramah dan kultum
digelar sepanjang bulan ini; juga salat tasbih dan tahajjud diadakan di
mana-mana.
Pengajian agama sudah tak terhitung lagi diadakan di setiap masjid,
mushalla, juga kantor dan perusahaan. Anda tak usah bertanya lagi,
bagaimana media elektronik memanfaatkan “momentum” suci ini untuk
menggelar sajian yang memanjakan (sampai-sampai membosankan) para
pemirsanya. Puluhan artis tiba-tiba tampil dalam citraan yang begitu
lekat dengan simbol-simbol keislaman. Layar kaca yang semula menjadi
panggung hiburan yang menampilkan suguhan yang tak boleh dipungkiri
lekat dengan unsur-unsur “erotisme”, tiba-tiba menjadi ajang tampilan
bagi ritualisme yang seolah-olah penuh kekhusyukan.
Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang merasa bahwa bulan suci ini
harus dilindungi dari pencemaran perbuatan yang yang tak patut,
perbuatan maksiat, tak mau ketinggalan melakukan “pembersihan”,
purifikasi atas kehidupan publik, mulai dengan cara yang sopan sampai
dengan cara yang kadang malah mencederai citra agama itu sendiri.
Atmosfir sosial kita betul-betul berubah wajah selama satu bulan ini.
Saya menyaksikan bahwa seolah-olah masyarakat Islam ingin menguras
seluruh energi spiritualnya, dan memaksimalkan hingga habis seluruh daya
dan kekuatannya untuk memuliakan bulan suci ini. Tetapi, dengan
seluruh respek saya pada kegembiraan dalam menyambut bulan Ramadan, saya
melihat seluruh gemuruh sosial dalam memuliakan bulan itu sebagai suatu
“karnaval sosial” yang dangkal.
Penyambutan yang begitu khidmat atas bulan suci terkesan hanya merupakan
suatu peristiwa yang rutin saja, bahkan telah mendekati suatu upacara
yang diulang-ulang saja. Dalam sejumlah hal, bahkan ada kecenderungan
bahwa upacara penyambutan dan pemuliaan bulan suci ini sudah diserap
kedalam bisnis hiburan modern yang penuh dengan gemerlap. Ramadan saat
ini, diam-diam, telah menjadi tontonan juga, menjadi sesuatu yang kita
lihat dari suatu jarak, seperti kalau kita sedang menonton sebuah
pertunjukan.
Melihat banjir tontonan yang disuguhkan oleh stasiun TV swasta selama
bulan ini, saya digiring kepada suatu perasaan bahwa bulan ini
sepertinya milik “mereka” yang tampil dalam layar kaca itu, dan bukan
milik kita lagi. Dalam kadar yang berbeda, ini menyerupai nasib yang
mengenai candi Borobudur yang sudah tidak lagi sepenuhnya merupakan
“properti” atau hak milik umat Budha, tetapi sudah menjadi bagian dari
turisme yang disangga oleh jaringan bisnis yang luas dan tak impersonal.
Masihkah Ramadan milik kita yang layak kita sambut, yang pantas kita
mamayu bahagya ? Jika kita mau lebih “nakal’ lagi mempersoalkan duduk
perkara ibadah puasa ini, maka tiliklah pada satu hal ini: bahwa
sebenarnya diam-diam, tanpa kita sadari, kita selama ini sudah terjebak
kedalam sikap memperlakukan ibadah sebagai ritualisme yang menyerupai
teater, tontonan dan pertunjukan.
Kegairahan masyarakat Islam yang begitu tinggi dalam menjalankan ritual
agama, membuat kita berkesimpulan bahwa umat Islam adalah umat yang taat
dan saleh. Hal itu sudah tak perlu dipersoalkan lagi. Tapi apa yang ada
di balik teater itu? Apakah substansi yang ada dibaliknya? Apakah
kesalehan teatrikal yang penuh dengan kegairahan dan kekhusyukan ini
menandakan akan terjadinya perubahan yang signifikan dalam kehidupan
sosial kita? Saya ragu, bahwa dibalik pertunjukan ibadah yang kolosal
ini, ada suatu “
magma” sosial yang akan mengubah struktur masyarakat agar mendekati cita sosial yang dikehendaki oleh Islam.
Kecenderunga yang makin kuat saat ini justru mengarah kepada sikap bahwa ritualisme teatrikal ini dipandang
sebagai “inti” agama yang harus diperjuangkan habis-habisan. Kesan yang
tampil ke permukaan: solah-olah kalau umat Islam taat beribadah secara
ritual, maka seluruh masalah yang menghimpit mereka akan dengan
sendirinya, sekali “dengan sendirinya”, hilang begitu saja. Wa law amana
ahlul qura lafatahna ‘alaihim barakatin minas sama’i wal ardl,
sekiranya penduduk kota beriman, maka Aku akan bukakan tingkap-tingkap
langit dan hamparan bumi, sehingga berkah-Ku mengucur deras.
“Iman” di sana kerapkali dimaknai sebagai pelaksanaan ritual dalam
bentuk-bentuknya yang teatrikal: shalat, haji, puasa, zakat, jilbab,
jubah, jenggot, dan seterusnya. Dalam sikap yang demikian itu, ibadah
seolah-olah pulau yang terpisah dari kehidupan ramai dalam masyarakat:
ibadah di satu tempat, kehidupan ramai ada di tempat yang lain.
Dua-duanya saling tak berkaitan. Diam-diam, inilah sekularisme yang
diamini oleh umat Islam, meskipun secara retoris mereka mengutuk
sekularisme dengan jeritan histeris.
Di manakah pangkal kekalutan yang memalukan ini? Saya mengajukan
diagnosa masalah: ini bersumber dari cara pengajaran agama yang hanya
menekankan sikap “taatilah dan jalankanlah aturan agama, jangan rewel,
jangan tanya, nanti Tuhan marah.” Agama diajarkan sebagai komando dan
khotbah moral yang berbusa-busa, kadang diselingi retorika kebencian
yang menyerang kelompok lain yang berbeda pandangan.
Umat dipandang oleh para pemimpin agama sebagai kerbau yang tercocok
hidungnya, dan tak diperbolehkan untuk bertanya, mendebat, mengkritik,
mempersoalkan. Wa man lam yahkum bi ma anzalal Lahu fa ula-ika humul
kafirun, kata sebuah ayat yang suka disitir oleh para pemimpin itu;
barangsiapa tak mau berhukum kepada hukum Allah, maka dia adalah kafir.
Umat tidak layak untuk diajak diskusi. Setiap pertanyaan kritis
mengenai agama dianggap sebagai “cabaran” (penodaan) atas agama.
Diagnosa lain: agama diajarkan semata-mata sebagai aturan, tetapi tidak
sebagai suatu keinsafan batin yang mendalam. Aspak-aspek sufistik dalam
agama sering diabaikan, sehingga akhirnya agama kerontang dari spirit
dasarnya sebagai ketundukan yang sukarela, tanpa paksaan, tanpa diawasi
oleh “polisi moral”, terhadap Tuhan.
Kalau agama adalah keinsafan batin yang berdasarkan pada tindakan batin
yang sukarela, apakah bisa agama ditegakkan melalui aparat pemerintah?
Bukankah dalam hal yang demikian itu terdapat suatu “kontradiksi
internal” yang melawan akal sehat? Ini semua berujung kepada satu titik:
agama berhenti sebagai teater yang tidak mempengaruhi kehidupan secara
luas.
Puasa kita, rupanya, telah terjerembab kedalam liang ini. Dari tahun ke tahun puasa dipertunjukkan sebagai teater kolosal, tetapi setelah pertunjukan itu bubaran, keadaan kembali kepada kedudukan semula: businness as usual. Ketidakadilan masih merajalela di mana-mana, dan korupsi meruyak seperti virus ganas yang melumpuhkan sistem
sumber : http://dikolonglangit88.blogspot.com/2010/08/makna-puasa-dibulan-ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar