Didalam kehidupan kita yang sudah puluhan tahun boleh dikatakan telah banyak kebenaran yang diketahui. Baik dari membaca, mendengar, maupun dari pengalaman hidup. Apalagi bagi kita sebagai umat beragama yang memiliki kitab suci. Saya yakin Kebenaran yang ada di kitab suci telah banyak yang diketahui dan dimengerti serta dipahami.
Sayangnya semua Hakekat Kebenaran itu masih belum banyak berarti untuk mengubah perilaku dan akhlak hidup kita menjadi lebih baik. Tentu ini menjadi pertanyaan besar.
Ibarat obat, isi kitab suci adalah obat terbaik. Mengapa belum bisa menyembuhkan penyakit keserakahan, kesombongan, kebencian, kemaksiatan, dan kebodohan batin pada manusia? Jawaban klasiknya adalah bukan Kebenaran kitab sucinya yang tidak benar tapi manusianya yang memang tidak baik.
Itulah kebenarannya!
Lalu mengapa manusianya yang tidak baik, padahal dasarnya adalah baik? Begitu juga kitab suci yang berisi Kebenarannya adalah untuk menjadikan manusia kembali menjadi baik.
Tetapi mengapa banyak manusia yang notabene taat beragama tetapi perilakunya belum bisa baik juga? Istilahnya pagi khusuk berdoa menyembah Tuhan, siang asik bergumul dengan dosa tanpa ingat lagi Tuhan.
Satu hal adalah seberapa baikpun Kebenaran yang ada, mau dibaca siang malam, mau didengar terus-terusan sampai telinga pekak, tetapi bila ketulusan hati kita belum terbuka lebih akan menjadi sia-sia.
Kebenaran itu tak akan banyak berfaedah, hanya numpang lewat di hati kita. Tidak singgah dan melekat.
Saya berkeyakinan semua Kebenaran yang ada adalah bertujuan untuk membuka kesadaran akan sebuah ketulusan yang telah ada didasari hati kita untuk menjadi sesadar-sadarnya sehingga tersadarkan. Karena sesungguhnya Kebenaran Sejati itu telah tersimpan rapi didasari hati untuk dibangkitkan.
Bila ketulusan hati telah dibuka dan dibangkitkan, maka ia akan melebihi segala Kebenaran yang ada.
Kebenaran adalah Kebenaran. Ia takkan berarti apa-apa bila bertemu dengan tiada ketulusan hati. Ketulusan hati adalah benih-benih Kebenaran yang akan terus bersemi sepanjang hidup manusia.
Jadi, betapa agungnya sebuah ketulusan hati yang bisa dibangkitkan, karena itu adalah sebagai pintu untuk membuka Kebenaran yang ada pada diri manusia.
Sementara itu, saya masih dalam keterlenaan mencarinya kemana-mana.
Suatu hari seorang anak menghampiri meja kerja ayahnya. Lantas ia memungut sebatang pensil yang patah. Anak itu berkata, ”Boleh saya ambil, ayah?”
Ayahnya yang sedang sibuk memandangnya sekilas lalu mengangguk. Sambil tersenyum, ayahnya berkata, ”Ambil saja.”
Setelah itu, ayahnya lupa selamanya. Padahal bagi anaknya, pensil itu sangat berharga untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Ia bersyukur hari itu ia mendapatkan pensil untuk melukis. Setelah meruncingkan pensil itu, ia gunakan dengan baik.
Baginya, itulah alat yang sangat bermakna. Ia dapat mengungkapkan dirinya melalui pensil tersebut. Ia dapat melukis sebuah obyek dengan sangat indah. Itulah cara ia mengungkapkan isi hatinya kepada orang lain. Melalui pensil itu ia dapat membagikan pengalaman hidupnya kepada orang lain.
Dengan hati yang tulus anak itu telah mendapatkan pensil itu. Dengan hati yang tulus pula ia membagikan pengalaman hidupnya kepada sesama melalui lukisan-lukisannya. Begitu banyak orang mengagumi lukisan-lukisannya. Begitu banyak orang menyukai karya-karyanya.
Ketulusan hati di jaman sekarang sudah menjauh dari hidup manusia. Mengapa bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi, karena manusia lebih mementingkan egoismenya. Apa yang dilakukan itu demi kepentingan dirinya sendiri saja. Kepentingan sesama dikesampingkan.
Orang yang memiliki ketulusan hati yang besar biasanya mengerjakan sesuatu tanpa tedeng aling-aling. Orang seperti ini berani menularkan apa yang dimilikinya kepada sesamanya. Ilmu yang dimiliki itu bukan dipakai hanya untuk diri sendiri. Ilmu yang dimiliki itu digunakan untuk kesejahteraan sesama.
Orang yang tulus hati biasanya berani mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Ia tidak peduli seberapa besar korban yang akan ia berikan. Baginya, korban itu menjadi suatu keharusan. Mengapa? Karena itulah hakekat manusia. Manusia mesti berani memberikan hidupnya bagi sesamanya.
Apakah orang beriman berani untuk memiliki ketulusan hati dalam hidup ini? Bukankah banyak orang beriman yang takut untuk berkorban bagi sesamanya? Bukankah banyak orang beriman yang berpikir terlalu panjang dan berliku-liku, ketika mesti membantu sesamanya?
Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki hati yang tulus terhadap sesama kita. Kita ingin melakukan sesuatu untuk sesama dengan sepenuh hati kita. Dengan demikian, kita dapat menyumbangkan hidup dan karya kita bagi sesama. Kita dapat membangun suatu relasi yang baik yang dapat menyejahterakan sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar